KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang mana telah
memberikan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan panulisan
makalah ini yang berjudul “Ahlak dan Kepribadian Guru”dengan baik.
Sebelumnya, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dosen Pembimbing
yang telah memberikan tugas ini dan yang telah membimbing saya dalam
penyelesaian tugas UTS, sehingga saya dapat menyelesaikannya dengan baik.
Saya menyadari berbagai kelemahan dan
keterbatasan yang ada, sehingga terbuka kemungkinan terjadinya kesalahan dalam
penulisan Makalah ini. Penulis sangat memerlukan kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca Makalah ini, terutama Bapak Dosen untuk penyempurnaan
Makalah ini.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, penulis berharap semoga Mkalah ini
bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya.
Bogor , 09 Desember 2012
Isye
Kusnia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada prinsipnya
seorang guru adalah figur dan titik sentral dalam proses pembelajaran baik hal
itu dilakukan didalam kelas ataupun di
luar kelas, oleh karena itulah setiap guru harus mempunyai kepribadian yang
baik sebagai suatu bekal dalam menghadapi siswanya, baik dalam hal kemampuan
kogniif, avektif, dan psikomotorik.
Kepribadian yang
baik akan membawa suatu citra yang positif bagi lembaga yang di binanya ataupun
realita social yang ada disekitarnya, boleh jadi nama guru di masa sekarang
sudah banyak dikotori oleh oknum-oknum yang ingin merusak citra seorang guru,
fenomena tersebut, antara lain :
Masih adanya
guru yang lebih senang menggunakan suatu produk pembelajaran yang bersifat
’instan’ daripada berlatih mendesain sendiri, dimana hal tersebut sebagai bukti
belum teraktualisasinya kompetensi guru.
Masih adanya guru yang lebih senang dan
bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi
dengan ’makhluk’ lain selain dirinya. Menjadi pewarta materi dengan peserta
didik yang duduk senang tanpa ‘perlawanan’, juga menjadi kebanggaannya.
Masih adanya
guru yang lebih senang menggunakan ’ancaman’ untuk mengingatkan peserta didik
daripada menerapkan teknik-teknik profesionalnya saat dididik menjadi guru
sebelumnya.
Juga terlihat
adanya guru yang masih asing bahkan sinis terhadap inovasi tapi suka
menganggukkan kepala tanda setuju tanpa memikirkan secara mendalam makna
anggukan kepala tersebut.
1.2 Rumusan
Masalah
Sesuai latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana ahlak seorang guru?
2.
Bagaimana peranan guru sebagai motivator ahlak?
3.
Apakah kepribadian menjadi sumber karismatik guru?
4.
Apa
saja yang merupakan Nilai-nilai Kepribadian Guru dalam Penanaman Akhlak Siswa?
1.3 Tujuan
1.
Untuk
mengetahui bagaimana ahlak seorang guru
2.
Untuk
mengetahui peran guru sebagai motivatorahlak
3.
Untuk
mengetahui aapakah kepribadian menjadi sumber karismatik guru.
4.
Untuk
mengetahui nilai-nilai kepribadian guru dalam penanaman ahlak.
BAB II
PEMBAHASAN
AHLAK DAN KEPRIBADIAN GURU
2.1 Ahlak Seorang Guru
Islam memiliki
kriteria yang sangat ketat dalam persoalan guru, terutama berkaitan dengan
akhlaq.Hal ini sangat berbeda dengan keadaan pada mayoritas sekolah umum, yang
hampir tidak pernah melihat akhlaq calon guru-gurunya, melainkan hanya melihat
ijazah pendidikan akademisnya. Bahkan, untuk guru agama sekalipun, sekolah
tidak merasa perlu untuk menelusuri latar belakang dan akhlaq keseharian dari
sang calon guru.
Kriteria Guru Menurut Para Ulama :
Untuk mengetahui
lebih jauh, kita akan mencoba melihat apa saja kriteria guru dari para ulama
pendidikan Islam terdahulu.
Imam al-Ghazali
memiliki empat syarat utama bagi guru yakni cerdas, sempurna akalnya, baik
akhlaqnya dan kuat fisiknya. Selain keempat syarat utama ini, al-Ghazali
menambahkan delapan kriteria. Pertama, memiliki sifat kasih sayang. Kedua,
tidak menuntut upah atas ilmu yang diajarkannya (terkecuali untuk menutup
ongkos yang harus dia keluarkan, seperti transportasi, dsb). Ketiga, bisa mengarahkan murid-muridnya.
Keempat, menggunakan cara yang simpatik. Kelima, bisa menjadi panutan. Keenam,
memahami kemampuan individu tiap murid yang bisa berbeda satu sama lain.
Ketujuh, memahami perkembangan jiwa murid-muridnya. Kedelapan, tidak melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diajarkan.
Senada dengan
Imam al-Ghazali, Ibn Jamaah, seorang ulama besar dari Mesir, memiliki enam
kriteria bagi guru yang baik. Kriteria pertama adalah menjaga akhlaq. Kedua,
tidak menjadikan profesi guru untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Ketiga,
mengetahui situasi yang terjadi pada lingkungan sosial dan kemasyarakatan.
Keempat, menunjukkan kasih sayang dan kesabaran. Kelima, adil dalam
memperlakukan anak didik. Keenam, berupaya maksimal dalam menolong anak
didiknya mencapai pemahaman yang benar.
Demikian halnya
dengan Ibnu Taimiyah. Beliau menetapkan empat syarat bagi guru. Pertama, guru
merupakan penerus nabi dalam menyampaikan ilmu-ilmu kebenaran. Oleh karenanya,
guru wajib senantiasa mencontoh perjalanan hidup dan akhlaq dari Rasulullah
Muhammad SAW. Kedua, guru harus bisa
menjadi panutan bagi murid-muridnya. Ketiga, serius dan tidak sembrono dalam
mengajar. Keempat, berusaha untuk terus menambah keilmuannya.
Ibn Miskawaih
bahkan menempatkan posisi guru di atas orang tua lantaran keutamaan yang
(seharusnya) dimiliki seorang guru. Menurut beliau, seorang guru lebih banyak
berperan dalam mendidik kejiwaan muridnya dalam rangka mencapai kebahagiaan
sejati, yakni keridloan Allah SWT di dunia dan pahala di akhirat. Oleh karena
itulah, seorang guru sejati adalah yang bisa senantiasa menunjukkan kepribadian
yang mencontoh kepribadian nabi.Selain guru sejati, Ibn Miskawaih menetapkan
pula kriteria “guru biasa.” Guru biasa
ini haruslah memenuhi persyaratan:
(1) bisa
dipercaya;
(2) pandai;
(3) dicintai;
(4) sejarah
hidupnya tidak tercemar dalam masyarakat;
(5) bisa menjadi
panutan;
(6) akhlaqnya
lebih mulia daripada murid-muridnya.
Demikianlah
kriteria yang dibuat para ulama kita. Dari kesemuanya itu, bisa kita lihat
bahwa akhlaq guru menempati posisi terpenting yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Oleh karena itu, sudah sepatutnya apabila kita mulai memberikan perhatian
serius terhadap masalah ini. Jangan sampai kita serahkan diri kita maupun anak-anak
kita kepada guru yang tercela akhlaqnya.
Namun dalam
proses penilaiannya para guru banyak yang hanya sekedar menilai tanpa
memperhatikan aspek sikap dan komponen penilaiannya.
komponen
tersebut antara lain:
1. AKHLAQ
- A. Ketaqwaan
- B. Budi Pekerti
- C. Pengalaman Beragama
2. KEPRIBADIAN
- A. Sikap
- B. Kerajianan
- C. Kebersihan dan
Kerapian
Masing- masing
komponen tersebut dijabarkan lagi dalam beberapa sikap yang dapat diamati dan
dinilai oleh guru. Karena banyaknya sikap yang diamati dan dinilai menyebabkan
guru kesulitan dalam melakukan penilaian, sehingga dalam pengisian rapot
seorang guru biasanya hanya membayangkan dan mengingat wajah si A atau si B.
Ketika diminta bukti penilaian pasti tidak bisa menunjukkan.
2.2 GURU SEBAGAI MOTIVATOR AKHLAK
Sungguh berat
nian tugas sebagai seorang guru. Salah satu diantaranya adalah “Guru sebagai motivator akhlak”. Guru
tidak hanya dituntut harus mampu sebagai agent of learning, tetapi juga harus
mampu memerankan dirinya sebagai agent of
change (agen perubahan) bagi peserta didik. Karenanya, seorang guru
diharapkan dapat menjadi seorang pendidik yang tidak hanya sebatas mengajar,
tetapi juga harus mampu menjadi motivator serta terlibat langsung dalam proses
pengubahan sikap dan perilaku (akhlak) siswa.
Guru sebagai motivator
akhlak adalah yang bertugas memberikan dorongan atau stimulasi kepada siswanya
untuk bersikap dan bertutur laku dengan baik mengenai perilaku dan kecerdasan
pikiran, dalam hal ini budi pekerti atau akhlak.
Dengan demikian,
seorang pendidik harus terlibat langsung dalam proses pengubahan sikap dan
perilaku siswa dalam upaya mendewasakan siswa melalui upaya pengajaran. Jadi,
upaya mendewasakan siswa yang mencakup akhlak (moral) dan kecerdasan pikiran
tidak sebatas dilakukan di dalam ruang kelas. Ini berarti bahwa seorang guru
tetap bertanggung jawab menjalankan perannya walaupun di luar jam mengajarnya.
Dia berperan dalam pengembangan budi pekerti atau perilaku anak didiknya; bukan
hanya sekadar bertumpu pada pengalihan informasi.
Untuk
menjalankan peranannya sebagai motivator akhlak dalam proses belajar- mengajar,
seorang guru harus memberikan contoh-contoh penerapan praktis dan konkret
kepada anak didiknya. Karenanya, sudah otomatis ia harus mampu menunjukkan
akhlaknya yang positif agar dapat dituruti peserta didiknya. Bukan hanya
sekedar sebagai transformer materi akhlak semata. Hal ini, dirasa lebih efektif
dan akan menimbulkan efek kepada siswa ketimbang ia hanya “mahir” dalam
memberikan segudang materi pembelajara akhlak.
Akhlak seorang
guru dituntut menjadi suri teladan bagi peserta didiknya. Jangan sampai, guru
yang menuntut siswanya untuk berakhlak mulia, namun akhlak pribadinya dalam
keseharian masih harus dipertanyakan.
Seorang guru
dapat menerapkan prinsip-prinsip pembentukan dan pengembangan akhlak kepada
siswanya sebagaimana yang pernah diterapkan Rasulullah Saw. Melakukan
pengajaran aqidah dengan teknik yang sesuai dengan karakter aqidah Islam yang
merupakan aqidah aqliyyah (aqidah yang muncul melalui proses perenungan
pemikiran yang mendalam).
Menjadi seorang
guru berarti memiliki peluang untuk mendapatkan mahkota kepahlawanan. Berjuang
dalam pergumulan hidup untuk mengantarkan kesuksesan bagi masa depan generasi
penerus bangsa adalah sebuah tugas mulia. Kerja keras, kerja cerdas, dan kerja
ikhlas merupakan bingkai indah dalam potret perjuangan mereka. Teriring doa
bagi guru-guru kita yang berjuang tanpa pamrih mengorbankan jiwa raga mereka
bagi peradaban dunia pendidikan. Semoga setiap tetes keringat dan jiwa yang tak
pernah lelah berjuang menjadi sebuah amalan ibadah dan mendapatkan hadiah
teristimewa dari Sang Maha Sempurna, Allah SWT…. Saya bangga memilih profesi
itu.
2.3 PENGERTIAN KEPRIBADIAN
Kepribadian
adalah keseluruhan dari individu
yang terdiri dari unsur psikis dan fisik. Dalam makna demikian, seluruh sikap
dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu,
asal dilakukan secara sadar. Dan perbuatan yang baik sering dikatakan bahwa
seseorang itu mempunyai kepribadian yang baik atau berakhlak mulia. Sebaliknya,
bila seorang melakukan suatu sikap dan perbuatan yang tidak baik menurut
pandangan masyarakat, maka dikatakan bahwa orang itu tidak mempunyai
kepribadian yang baik atau mempunyai akhlak yang mulia. Oleh karena itu,
masalah kepribadian adalah suatu hal yang sangat menentukan tinggi rendahnya
kewibawaan seorang guru dalam pandangan anak didik atau masyarakat. Dengan kata
lain, baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadian. Lebih lagi
bagi seorang guru, masalah kepribadian merupakan faktor yang menentukan
terhadap keberhasilan melaksanakan tugas sebagai pendidik. Kepribadian dapat
menentukan apakah guru menjadi pendidik dan Pembina yang baik ataukah akan
menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak
didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) dan bagi mereka yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa (tingkat remaja).
Namun begitu,
seseorang yang berstatus guru tidak selamanya dapat menjaga wibawa dan citra
sebagai guru dimata anak didik dan masyarakat.Ternyata masih ada sebagian guru
yang mencemarkan wibawa dan citra guru. Di media massa (cetak maupun
elektronik) sering diberitakan tentang oknum-oknum guru yang melakukan suatu
tindakan asusila, asosial, dan amoral. Perbuatan itu tidak sepatutnya dilakukan
oleh guru. Lebih fatal lagi bila perbuatan yang tergolong tindakan criminal itu
dilakukan terhadap terhadap anak didik sendiri.
Kepribadian
adalah unsur yang menentukan keakraban hubungan guru dengan anak didik.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan perbuatannya dalam membina dan
membimbing anak didik. Menurut Mikeljohn dalam bahri (2000: 41) tidak
seorangpun yang dapat menjadi guru yang sejati (mulia) kecuali dia menjadikan
dirinya sebagi bagian dari anak didik yang berusaha untuk memahami semua anak
didik dan kata-katanya. Guru yang dapat memahami tentang kesulitan anak didik
dalam hal belajar dan kesulitan lainnya diluar masalah belajar, yang bisa
menghambat aktifitas belajar anak didik, maka guru tersebut akan disenangi anak
didiknya.
2.4 KEPRIBADIAN SEBAGAI SUMBER
KARISMATIK GURU
Guru sebagai
tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, memiliki karakteristik
kepribadian yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sumber
daya manusia. Kepribadian yang mantap
dari sosok seorang guru akan memberikan teladan yang baik terhadap anak didik
maupun masyarakatnya, sehingga guru akan tampil sebagai sosok yang patut
“digugu” (ditaati nasehat, ucapan, atau perintahnya) dan “ditiru” (di contoh
sikap dan perilakunya).
1.
Makna Kepribadian Terhadap
Pengembangan Guru
Pendidik adalah
tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong
belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang
sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan
pendidikan. (UU No 20 tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 1 ayat 6).
Dari hal itulah
guru mempunyai beberapa kompetensi, sesuai dengan Peraturan pemerintah nomor 19
tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan yaitu; (a) Kompetensi pedagogik.
(b) Kompetensi kepribadian. (c) Kompetensi profesional; dan (d) Kompetensi
sosial. Namun yang paling menentukan dalam proses pembelajaran adalah
kompetensi kepribadian karena dengan kompetensi tersebut dapatlah diukur
seberapa besar tingkat keberhasilan guru dalam menegemban amanah, yaitu
memperbaiki akhlak.
a.
Kepribadian guru merupakan faktor terpenting bagi
keberhasilan belajar anak didik. Dalam kaitan ini, Zakiah Darajat dalam Syah
(2000:225-226) menegaskan bahwa
kepribadian itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina
yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi
masa depan anak didiknya terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat
dasar) dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
b.
Karakteristik kepribadian yang berkaitan dengan
keberhasilan guru dalam menggeluti profesinya adalah meliputi fleksibilitas
kognitif dan keterbukaan psikologis.Fleksibilitas kognitif atau keluwesan ranah
cipta merupakan kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan secara simultan
dan memadai dalam situasi tertentu.Guru yang fleksibel pada umumnya ditandai
dengan adanya keterbukaan berpikir dan beradaptasi. Selain itu, ia memiliki
resistensi atau daya tahan terhadap ketertutupan ranah cipta yang prematur
dalam pengamatan dan pengenalan.
Dalam
Undang-undang Guru dan Dosen dikemukakan kompetensi kepribadian adalah
“kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta
menjadi teladan peserta didik”. Surya (2003:138) menyebut kompetensi kepribadian
ini sebagai kompetensi personal, yaitu kemampuan pribadi seorang guru yang
diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini mencakup
kemampuan pribadi yang berkenaan dengan pemahaman diri, penerimaan diri,
pengarahan diri, dan perwujudan diri (www. rasto.wordpress.com).
Setiap guru
mempunyai pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki.
Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dengan guru lainnya. Kepribadian
sebenarnya suatu masalah yang abstrak, hanya dapat dilihat lewat penampilan,
tindakan, ucapan, cara berpakaian, dan dalam menghadapi setiap persoalan.
Zakiah Daradjat (1985) mengatakan bahwa kepribadian yang sesungguhnya adalah
abstrak (ma’nawi), sukar dilihat atau diketahui secara nyata, yang dapat
diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala segi dan aspek
kehidupan. Misalnya dalam tindakannya, ucapan, cara bergaul, berpakaian, dan
dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan atau yang
berat.
2.5 NILAI-NILAI KEPRIBADIAN GURU DALAM
PENANAMAN AHLAK SISWA
Sebagai teladan,
guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil dan idola, seluruh
kehidupan adalah figur yang paripurna.Itulah kesan terhadap guru sebagai sosok
yang ideal. Sedikit saja guru berbuat yang tidak atau kurang baik, akan
mengurangi kewibawaannya dan kharisma pun secara perlahan lebur dari jati diri.
Karena itu, kepribadian adalah masalah yang sangat sensitif sekali. Penyatuan
kata dan perbuatan dituntut dari guru, bukan lain perkataan dengan perbuatan,
ibarat kata pepatah; pepat diluar runcing di dalam.
Imam Al-Ghazali
mengemukakan, bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang
daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak memerlukan
pertimbangan pikiran (lebih dahulu).Ahmad Amin menjelaskan, bahwa akhlak adalah
adatul iradah atau kehendak yang dibiasakan. (Mustofa, 2005: 12). Menurut Ibnu
‘Ilaan Ash-Shiddieqy, bahwa akhlak adalah suatu pembawaan dalam diri manusia
yang dapat menimbulkan perbuatan baik, dengan cara yang mudah (tanpa dorongan
dari orang lain). Sedangkan Abu Bakar Al-Jazairy mengatakan, bahwa akhlak
adalah bentuk kejiwaan yang tertanam dalam diri manusia, yang menimbulkan
perbuatan baik dan buruk, terpuji dan tercela dengan cara yang sengaja (Mahyuddin,
2001: 3).
Guru adalah
mitra anak didik dalam kebaikan. Guru yang baik, anak didik pun menjadi baik.
Tidak ada seorang guru yang bermaksud menjerumuskan anak didiknya kelembah
kenistaan. Karena kemuliaan guru, sebagai gelarpun di sandangnya. Guru adalah
pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan
kebaikan, pahlawan pendidikan, makhluk serba bisa, atau sebagai julukan lain
seperti makhluk interpreter, artis, kawan, warga Negara yang baik, pembangun
manusia, pembawa kultur, pioneer, reformer dan terpercaya, soko guru, bhatara
guru, kiajar, sang guru dan sebagainya. Itulah atribut yang pas untuk guru yang
diberikan oleh mereka yang mengagumi figur guru. Oleh karena itu, penyair telah
mengakui pula nilai guru dengan kata-katanya, “berdiri dan hormatilah guru dan
berilah ia penghargaan, seorang guru hamper saja merupakan seorang rasul”.
Pribadi guru adalah uswatun hasanah, kendati tidak sesempurna seperti rasul.
Betapa tingginya derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi
berbagai julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua
julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan
motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya demi
uang.
Posisi guru dan anak
didik boleh berbeda, tetapi keduanya tetap sering dan setujuan, bukan seiring
tapi tidak setujuan. Sering dalam arti kesamaan langkah dalam mencapai tujuan
bersama. Anak didik berusaha mencapai cita-citanya dan guru dengan ikhlas
mengantar dan membimbing anak didik kepintu gerbang cita-citanya. Itulah
barangkali sikap guru yang tepat sebagi sosok pribadi yang mulia. Pendek kata,
kewajiban guru adalah menciptakan “khairunnas” yakni manusia yang baik.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan
di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
Dari beberapa
definisi di atas maka dapat disimpulkan, bahwa akhlak adalah perbuatan manusia
yang berasal dari dorongan jiwanya karena kebiasaan, tanpa memerlukan pikiran
terlebih dahulu.Maka gerakan refleks, denyut jantung, dan kedipan mata tidak
dapat disebut akhlak
Kepribadian
adalah keseluruhan dari individu yang terdiri dari unsur psikis dan fisik.Dalam
makna demikian, seluruh sikap dan perbuatan seseorang merupakan suatu gambaran
dari kepribadian orang itu, asal dilakukan secara sadar.Dan perbuatan yang baik
sering dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai kepribadian yang baik atau
berakhlak mulia.Sebaliknya, bila seorang melakukan suatu sikap dan perbuatan
yang tidak baik menurut pandangan masyarakat, maka dikatakan bahwa orang itu
tidak mempunyai kepribadian yang baik atau mempunyai akhlak yang mulia.
Guru
adalah spiritual father atau bapak rohani dari seorang anak didik ialah yang
memberikan santapan jiwa dengan ilmu
pendidikan akhlak, dan membenarkannya, maka menghormati guru berarti
menghormati anak didik kita, menghargai guru berarti penghargaan terhadap
anak-anak kita, dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang, sekiranya
setiap guru itu menunaikan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya. Profil guru yang
ideal adalah sosok yang mengabdikan diri berdasarkan panggilan jiwa, panggilan
hati nurani, bukan karena tuntutan uang belaka yang membatasi tugas dan
tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah.Guru yang ideal selalu ingin bersama
anak didik di dalam dan di luar sekolah. Jadi kemuliaan hati seorang guru
tercermin dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekedar simbol atau semboyan
yang terpampang di kantor dewan guru.
SARAN
Guru mesti memiliki
kualifikasi yang melampaui sekadar penguasaan pelajaran (kognisi), tetapi juga
memenuhi prasyarat jika seseorang ingin menjadi pemimpin yang baik. Ia harus
mampu mengajarkan bagaimana jadi manusia yang baik, mampu memberi teladan
bahwa, misalnya korupsi itu sama dengan mencuri, lewat contoh langsung dalam
laku keseharian hidupnya yang sudah sempit dan serba terbatas. Kualitas itulah
yang kita rindukan dari mereka yang diberkahi sebutan sebagai guru. Kpribadian
dan ahlak yang baik akan patut dicontoh siswa, jadi guru juga harus mempunyai
ahlak yang baik, kepribadian serta
kreativitasnya. Agar dapat menjadi panutan
untuk generasi baru.
Itu pula kiranya yang
menyebabkan guru diposisikan sebagai “manusia suci”, semacam resi, yang selain
pintar, tetapi punya laku tulus nan asketis. Saya kira inilah yang jadi sebab
kenapa kita seperti kurang serius memikirkan kesejahteraan para guru. Karena
memang tertanam kesadaran bahwa seorang guru itu harus hidup sederhana dan
tulus apa adanya
DAFTAR PUSTAKA
Bahri, Djamarah
Saiful. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka
Cipta
Daradjat,
Zakiah. 1985. Pembinaan Jiwa/Mental. Jakarta: Bulan Bintang
Mahyuddin. 2001.
Kuliah Ahlak Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia
Mustofa, A.
2005. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
Peraturan
Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-Undang
No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
www.rasto.wordpress.com.
kompetensi-guru. Diakses pada tanggal 04 mei 2009 pukul 19.00 Wib.